Gotong Royong
Dalam
khazanah kehidupan masyarakat Indonesia, istilah GOTONG ROYONG
menempati posisi terhormat sekaligus membumi. Terhormat karena istilah
tersebut sering dijadikan kata kunci oleh para tokoh bangsa untuk
menggalang dukungan terhadap suatu gagasan. Presiden Sukarno menggunakan
term gotong royong sebagi kata lain Ekasila yang merupakan perasan
lanjutan dari Trisila setelah sebelumnya merupakan hasil peras dari
Pancasila. Pada era Orde baru, kata gotong royong juga sering dijadikan
kata kunci dalam rangka mensukseskan program-program pembangunan.
Betapapun besar anggaran yang disediakan negara melalui APBN bila tanpa
didukung semangat kebersamaan bernama gotong royong dalam membangun dan
memelihara hasil pembangunan, tentulah program itu tidak akan berjalan
secara sangkil dan mangkus (efektif dan efisien). Di era pemerintahan
Megawati Sukarnoputri, gotong royong bahkan digunakan sebagai nama
kabinet. Pemberian nama Kabinet Gotong royong merupakan gambaran bahwa
pemerintahan saat itu dijalankan secara kolektif dengan merangkul
berbagai kekuatan politik untuk bekerjasama dengan semangat kebersamaan.
Lebih jauh M. Nasroen, salah seorang pelopor kajian filsafat Indonesia
menyatakan bahwa Gotong royong merupakan salah satu dasar filsafat
Indonesia.
Gotong
royong adalah sifat dasar yang dimiliki manusia Indonesia, demikian
guru-guru kita semasa SD menanamkan doktrin semangat kebersamaan dan
kekeluargaan. Masyarakat kita sejak lama telah sadar betul bahwa
sebagai makhluk sosial untuk memenuhi kebutuhannya harus melibatkan
orang lain. Sebaliknya, juga perlu melibatkan diri untuk membantu orang
lain melepaskan diri dari kesulitan. Tidak semua hal bisa dilakukan
sendiri atau menggunakan kekuatan sendiri. Budaya gotong-royong
benar-benar hidup dan menjadi tulang punggung kehidupan bermasyarakat.
Itulah mengapa istilah gotong royong dikatakan membumi.
Gotong royong yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring,
berarti bekerja bersama-sama (tolong- menolong, bantu-membantu),
merupakan manifestasi konkret dari semangat kebersamaan antar-masyarakat
dalam bantu-membantu dan tolong-menolong. Di tengah-tengah masyarakat
negeri ini, terutama di pedesaan, bantu-membantu membangun rumah masih
kerap kita saksikan. Tetangga sekitar dengan rela hati akan datang
membantu tanpa mengharap mendapat imbalan uang. Bahkan hal itu dilakukan
dengan sedikit mengorbankan kepentingannya sendiri semisal menunda atau
meniadakan aktivitas yang sedianya harus mereka lakukan saat itu.
Apabila tidak bisa membantu tenaga saat itu, warga akan memberikan
bantuan dalam bentuk lain atau menggantinya di lain hari di mana ia
sempat.
Dalam
wujud humanisme, gotong royong tampak ketika ada tetangga atau kerabat
yang menyelenggarakan suatu acara, baik itu acara sukacita maupun
dukacita. Acara pernikahan, khitanan, kelahiran, selamatan atau apalah,
dengan senang hati warga akan berkumpul dan turut membantu kelancaran
acara dari sebelum, saat maupun setelah usai. Begitu pula ketika ada
warga yang tertimpa kemalangan, dukungan dan bantuan –moral dan
material- akan segera mengalir dengan ikhlas. Suatu misal jika ada
tetangga yang meninggal, tanpa diminta pun warga akan datang dan
menyiapkan segala sesuatunya. Warga sudah tahu siapa harus melakukan
apa. Semua seperti bergerak secara otomatis. Keluarga yang berduka hanya
memberikan panduan secara garis besar. Selebihnya, terutama hal-hal
yang bersifat teknis dikerjakan secara bersama baik oleh warga maupun
kerabat si meninggal.
Kerja bakti bersih-bersih lingkungan
Contoh
lain yang dapat kita ambil adalah membangun atau memelihara fasilitas
publik semacam pembangunan balai desa, tempat ibadah, pos keamanan
lingkungan (Pos Kamling), tempat olah raga atau apapun yang dapat
dinikmati oleh warga masyarakat akan dilaksanakan oleh masyarakat itu
sendiri dengan senang hati. Gotong royong dalam hal tersebut lazim
disebut dengan Kerja Bakti. Asal warga tahu jika ada kerja bakti
meskipun perangkat desa atau pun aparat di bawahnya sampai ke RT tidak
memberikan perintah, warga akan datang menyumbangkan tenaga atau apapun.
Seorang warga akan merasa berdosa jika tidak ikut urun tenaga atau
pikiran dalam sebuah kegiatan kerja bakti. Rasa khawatir dikucilkan akan
menyeruak di dalam dadanya dan akan bersusah payah meminta maaf seta
menjelaskan ketidak-ikut-sertaannya baik kepada aparat desa maupun
kepada sesama warga. Terbukti kegiatan gotong royong akan meringankan
biaya dan lebih menyingkat waktu.
Begitulah
gotong royong, sebuah budaya khas Indonesia sebagai perwujudan harmoni
kebersamaan dan kekeluargaan penduduknya. Dalam perjalanan sejarah
kehidupan bangsa, gotong royong menjadi perekat sosial paling efektif.
Di dalam bergotong royong terjadi sinergi antar-partisipator sehingga
kegiatan berjalan lancar, lebih hemat biaya dan memberikan kebanggaan
khusus bagi yang terlibat. Selain itu, gotong royong merupakan
ejawantah dari kepedulian dan kepekaan sosial. Untuk itu, gotong royong
perlu terus didorong dan dilaksanakan agar tidak terkikis budaya
individulistis yang tidak sensitif terhadap situasi dan kondisi sekitar.
Sebagai
penutup, perlu kita tekankan bahwa gotong royong janganlah sekadar
menjadi perbincangan di ruang-ruang diskusi, diseminarkan yang kemudian
menghilang di tengah hiruk-pikuk dan menjadi kata-kata tanpa makna.
Kita, anak-anak negeri ini, bertanggung jawab terhadap kelestraian
budaya bangsa ini. Karenanya, mari bergotong royong menyelamatkan budaya
gotong royong! Tapi ingat, gotong royong yang dimaksud adalah dalam hal
positif, bukan bergotong royong dalam melakukan pelanggaran terhadap
norma agama, hukum maupun adat. Selamat bergotong royong!